Senin, 27 April 2015

Pelajaran berharga dari Rabindranath Tagore



Shantiniketan (1901—1932)

Rabindranath Tagore, diambil sekitar tahun 1905/1906, oleh Sukumar Ray.
Pada tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan (Benggala Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863,  di sini mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon rindang, taman yang indah dan perpustakaan. Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga meninggal pada 19 januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa di daerah  Puri serta hak royalti atas karya-karyanya.Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti "Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama, tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal  14 November 1913Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk di antaranya adalah: Gitanjali: Song Offerings (1912). Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun 1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.
Pada 1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul, sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik.Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan.Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum dalit (kelompok kasta rendahan)
Sebuah pelajaran yang sangat berharga telah diletakkan oleh Rabindranath Tagore tentang pendidikan. Ia sangat peduli kepada masyarakat sekitar agar terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Karena dua hal itulah yang melekat pada masyarakat di daerahnya. Salah satu yang khas dari pendidikan Rabindranath Tagore adalah berupaya untuk menyatukan proses pendidikan dan pembelajaran dengan alam terbuka, dengan lingkungan yang riil tidak hanya berlangsung di dalam kelas. Hal ini yang patut kita adopsi dalam pendidikan kita yang masih serba terbatas dalam sarana dan infrastruktur. Bahwa alam akan senantiasa dijadikan sebuah media alami untuk proses sebuah pembelajaran.
Harus menjadi sebuah inspirasi bagi seorang pendidik bahwa keterbatasan tidak menjadi sebuah halangan untuk tetap berkarya memberian yang terbaik untuk sebuah generasi yang gemilang. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh saudara kita yang peduli kepada dunia pendidikan yaitu Butet Manurung yang dengan sabar dan tabah untuk tetap berbakti memberikan yang terbaik terhadap  suku yang terisolir dan tertinggal yaitu Suku Anak Dalam.
Sudah saatnya lah pemerintah melalui kementrian Pendidikan nasional lebih membuka matanya untuk sesegera mungkin membuka akses seluas-luasnya terhadap dunia pendidikan agar terbebas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Majulah bangsaku, majulah negeriku dalam menggapai cita-cita terhormat untuk kesejahteraan sebuah negeri. Maju dalam keterbatasan, berkarya dalam kondisi serba kekurangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar