Shantiniketan
(1901—1932)
Rabindranath
Tagore, diambil sekitar tahun 1905/1906, oleh Sukumar Ray.
Pada
tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan
(Benggala
Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863, di sini
mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon
rindang, taman yang indah dan perpustakaan.
Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga
meninggal pada 19 januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan
bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan
dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa
di daerah Puri serta
hak royalti atas karya-karyanya.Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun
pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti
"Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi
ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama,
tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal 14 November 1913Tagore
memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia
sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme
dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa
Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk di antaranya adalah:
Gitanjali: Song Offerings (1912).
Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun
1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes
terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan
penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.
Pada
1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi
pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul,
sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud
menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang
digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik.Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara
untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan
dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan.Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum dalit (kelompok kasta
rendahan)
Sebuah
pelajaran yang sangat berharga telah diletakkan oleh Rabindranath Tagore
tentang pendidikan. Ia sangat peduli kepada masyarakat sekitar agar terbebas
dari kebodohan dan kemiskinan. Karena dua hal itulah yang melekat pada
masyarakat di daerahnya. Salah satu yang khas dari pendidikan Rabindranath
Tagore adalah berupaya untuk menyatukan proses pendidikan dan pembelajaran
dengan alam terbuka, dengan lingkungan yang riil tidak hanya berlangsung di
dalam kelas. Hal ini yang patut kita adopsi dalam pendidikan kita yang masih serba
terbatas dalam sarana dan infrastruktur. Bahwa alam akan senantiasa dijadikan
sebuah media alami untuk proses sebuah pembelajaran.
Harus
menjadi sebuah inspirasi bagi seorang pendidik bahwa keterbatasan tidak menjadi
sebuah halangan untuk tetap berkarya memberian yang terbaik untuk sebuah
generasi yang gemilang. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh saudara kita
yang peduli kepada dunia pendidikan yaitu Butet Manurung yang dengan sabar dan
tabah untuk tetap berbakti memberikan yang terbaik terhadap suku yang terisolir dan tertinggal yaitu Suku
Anak Dalam.
Sudah
saatnya lah pemerintah melalui kementrian Pendidikan nasional lebih membuka
matanya untuk sesegera mungkin membuka akses seluas-luasnya terhadap dunia
pendidikan agar terbebas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Majulah bangsaku, majulah negeriku dalam menggapai cita-cita terhormat untuk
kesejahteraan sebuah negeri. Maju dalam keterbatasan, berkarya dalam kondisi
serba kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar